Ketika Keadilan Tertatih di Rejang Lebong


Di negeri yang menjunjung tinggi hukum, terkadang keadilan justru tersandung di pelataran pengadilan. Kasus pengeroyokan terhadap Reza Ardiansyah, pelajar 16 tahun yang kini lumpuh total, menjadi potret buram penegakan hukum kita. Vonis ringan terhadap pelaku utama, DM, yang hanya dihukum membersihkan masjid selama 60 jam, sungguh mencederai rasa keadilan masyarakat. 

Reza bukan sekadar korban kekerasan; dia adalah simbol dari sistem yang gagal melindungi warganya. Tubuhnya yang kini kurus dan tak berdaya menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang menimpa. Ironisnya, hakim menyebut kelumpuhan Reza disebabkan oleh kecelakaan motor, mengabaikan fakta bahwa ia dikeroyok hingga mengalami cedera parah. 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan banding atas putusan ini, menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebelumnya, JPU menuntut DM dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan restitusi sebesar Rp90 juta untuk biaya pengobatan Reza. Namun, hakim hanya mengabulkan restitusi sebesar Rp300 ribu, jumlah yang jauh dari memadai untuk menutupi biaya pengobatan korban yang lumpuh seumur hidup.  

Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali sistem peradilan kita. Apakah hukum benar-benar berpihak pada korban? Ataukah kita hanya menyaksikan sandiwara hukum yang jauh dari rasa keadilan sejati? 

Reza dan keluarganya kini menantikan keadilan yang sesungguhnya. Mereka berharap bahwa banding yang diajukan akan membuahkan hasil yang lebih adil. Namun, harapan saja tidak cukup. Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat, harus turut serta mengawal proses hukum ini agar tidak ada lagi Reza-Reza lain yang menjadi korban ketidakadilan. 

Keadilan bukanlah sekadar kata dalam kamus hukum; ia adalah hak setiap warga negara. Dan ketika keadilan itu direnggut, kita semua bertanggung jawab untuk memperjuangkannya kembali. 


Posting Komentar untuk "Ketika Keadilan Tertatih di Rejang Lebong"